
Buku Queer Menafsir hasil pemikiran dan refleksi teologis seorang transpria Muslim, Amar Alfikar, telah menghadirkan pandangan baru dalam dunia teologi dan studi queer. Dalam buku ini, Amar mencoba menggabungkan identitas queer dengan pemahaman yang inklusif terhadap keagamaan. Dianggap sebagai jawaban atas meningkatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap komunitas queer di Indonesia. Buku ini menawarkan pandangan bahwa agama seharusnya menjadi pangkal keadilan dan penerimaan terhadap semua orang, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender.
Buku ini berupaya untuk melawan dua mitos besar yang telah mengakar dalam masyarakat. Pertama, mitos bahwa keragaman gender dan seksualitas adalah produk Barat, dan kedua, bahwa agama secara inheren menolak keragaman ini. Amar Alfikar, dengan gagasan teologi queer-nya, meretas akar-akar ketimpangan dan penindasan yang seringkali muncul dalam nama agama. Dia meyakini bahwa semua manusia memiliki potensi yang sama untuk mendekati-Nya dan berbicara tentang-Nya, terlepas dari identitas gender, ekspresi gender, atau orientasi seksual mereka.
Baru-baru ini, diskusi dan bedah buku Queer Menafsir digelar di Kolase Ignatius Kotabaru. Bunda YS, sapaan akrab YS Al Buchary aktivis transpuan yang juga salah satu pengurus Ponpes Waria Al Fattah dan Staff Monev Yayasan Kebaya Yogyakarta ikut hadir sebagai penanggap. Bunda YS mengungkapkan apresiasinya terhadap “Queer Menafsir”.




“Buku ini merupakan langkah maju dalam upaya menciptakan pemahaman yang lebih inklusif tentang agama dan identitas queer. Amar telah menggugah kita untuk melawan mitos bahwa agama harus membatasi kita…” ujar YS.
YS memberikan perspektif lebih kaya terkait bagaimana buku ini memengaruhi dan membantu individu queer dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Juga meretas stigma yang seringkali terkait dengan identitas mereka.
Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan YIPC YYK dan Qur’anic Peace Study Club dalam rangka merefleksikan International Day of Peace (IDP). Dihadir oleh berbagai pihak, termasuk pembedah dari UIN Sunan Kalijaga, Akademisi Queer Feminis dan STAK Marturia Yogyakarta. Diskusi berjalan meriah dan seru, menciptakan ruang yang sangat berharga untuk berdialog dan memahami lebih dalam mengenai hubungan antara identitas queer dan agama. Dalam diskusi ini, para pemantik diskusi dan peserta mencermati makna penting cinta kasih dalam agama. Sebagai salah satu pesan utama yang ingin disampaikan oleh penulis dalam buku “Queer Menafsir.”
Buku ini jelas merupakan sumbangan yang berharga dalam upaya memahami hubungan antara identitas queer dan keagamaan. Ini juga menunjukkan pentingnya mendengarkan pengalaman dan perspektif kelompok queer dalam konteks teologi. Dengan demikian, buku ini bisa menjadi sumber inspirasi dan panduan bagi mereka yang ingin mendalami teologi queer. Dan juga mempromosikan inklusivitas dalam komunitas keagamaan.